Oleh : Dr. H. Hamzah Tawil, Wakil Ketua II Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan
Ada 5 pilar/pondasi dalam bangunan Islam, yang tertuang dalam Rukun Islam, Zakat Sebagai salah satu Rukun dalam Islam, zakat bukan hanya ibadah vertikal yang mengatur hubungan manusia dengan pencipta-Nya, melainkan juga dapat menjadi sarana mensucikan harta kita, yang kemudian akan memberi dampak bagi hubungan horizontal antar sesama umat manusia. Untuk itu agar terjadi keseimbangan dalam mendistribusikan harta. Islam kemudian memperkenalkan konsep zakat, agar harta tidak hanya hanya bergulir pada orang-orang kaya saja, namun mengalir kepada kaum yang lemah ekonominya dan para dhuafa.
Zakat adalah kewajiban mengeluarkan harta tertentu, dengan nishab tertentu dan haul tertentu dengan batas minimal, pun penerima juga terbatas dengan asnaf tertentu, dalam Qs. At-Taubah Ayat 103, Islam memberikan aturan khusus atau standart tertentu bagi orang-orang yang berhak untuk menerima zakat fitrah ke dalam delapan asnaf. Yakni: Fakir, Miskin Amil, Muallaf, hamba sahaya, Gharimin, Fisabilillah dan Ibnu Sabil.
Sebagai salah satu negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, tak heran cendekiawan seperti Mahmud Syaltut, memberi apreasiasi dengan memperumpamakan Indonesia dengan serpihan potongan surga yang diturunkan oleh Allah di bumi. Namun kenyataannya, kekayaan sumber daya Alam yang melimpah ruah ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang jauh tertinggal dibandingkan negara – negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
September 2020 misalnya, menurut data yang yang dirilis oleh Badan Pusat Stastistik (BPS) Jumlah penduduk miskin berada di angka 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019.
Yusuf Qardhawi dalam buku Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab munculnya permasalahan ekonomi karena lemahnya sumber penghasilan. Sedangkan para pakar ekonomi mengatakan bahwa kemiskinan bisa dilihat dari dua aspek. Pertama aspek primer, dari aspek ini kemiskinan terlihat dari miskin aset, organisasi sosial politik, pendidikan dan keterampilan. Kedua aspek sekunder, pada aspek ini kemiskinan terlihat pada kemiskinan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi.
Islam memandang problematika kemiskinan adalah masalah yang tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, kebutuhan primer yang dimaksud adalah yang menyangkut eksistensi seorang manusia. Yang terbagi ke dalam tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Berangkat pada poin ini Islam kemudian memberi perhatian yang tinggi agar seseorang dapat keluar dari zona kemiskinan, oleh karenanya agama Islam memiliki konsep yang sangat matang untuk hal tersebut dan juga untuk membangun keteraturan sosial. Dengan semangat etos kerja Islam memiliki konsep gotong royong yaitu melalui zakat.
Membayar zakat merupakan wujud pelaksanaan ibadah guna menghindarkan diri dari kekufuran sekaligus untuk mengeliminir munculnya sifat iri dan dengki ketika si miskin melihat kelompok masyarakat kaya. Di sini kita dapat lihat bahwa, antara zakat dan keadilan sosial saling berkorelasi positif dimana Islam mensyariatkan zakat dengan tujuan meratakan jaminan sosial (keadilan sosial). Jadi perintah untuk mengeluarkan zakat agar merupakan bukti tegas bahwa Islam tidak menghendaki adanya kesenjangan ekonomi antara kelompok berada dan kolompok miskin.
Oleh karenanya apabila ketaatan membayar zakat ini menjadi kesadaran kolektif maka zakat akan dapat menjadi potensi ekonomi sebagai sumber dana pembangunan bagi terbangunnya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang dibutuhkan umat. Bahkan sangat mungkin zakat dapat didayagunakan untuk mendukung program-program bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Wallahu a’lam bishawab.